Sabtu, 09 Oktober 2010

METODE PENELITIAN ILMIAH

PENDAHULUAN

Latar belakang
Ikan hias yang berasal dari air tawar dikenal dengan istilah fresh wate ornamental fish, salah satunya adalah ikan koi yang merupakan komoditi perikanan yang sudah dikenal luas baik domestik maupun internasional. Ikan koi ini berada dalam naungan genus yang sama dengan ikan mas. Ikan mas dikenal sebagai sumber protein hewani yang relatif murah dan mudah didapat sementara ikan koi lebih dikenal sebagai ikan hias dengan berbagai varias warna yang menarik.
Karena nilai estetika yang dimiliki oleh ikan koi menjadikan dia sebagai komoditi yang prospektif untuk dikembangkan. Ikan koi di jepang lebih dikenal dengan nama Nishikigoi. Ikan koi merupakan ikan hias air tawar yang memilil bentuk badan seperti torpedo dengan berbagai zat warna dan termasu golongan omnivora. Selain keragaman warna, pola serta bentuk tubuh yang unik ikan koi juga tergolong ikan yang memiliki ketahanan terhadap perubahan pad kondisi lingkungan. Kesehatan dan penyakitnya ditentukan oleh keseimbangan antara kepadatan ikan, air, kondisi lingkungan dan parasit serta kondisi ikan itu sendiri (Effendy 1993).
Walaupun harganya relatif mahal, tetapi tidak mengurangi jumlah konsumen yang menyukai ikan koi sebagai alternatif hiburan, bahkan ikan koi juga diikutsertakan dalam kontes ikan koi. ikan koi berasal dari daerah Asia Timur, daerah Persia. Tetapi banyak dibudidayakan di negara Jepang. Nishikigoi dalam bahasa Indonesia berarti ikan karper atau ikan mas. Ikan koi yang asal mulanya ikan karper hitam ini berangsur-angsur terus berkembang biak dengan mutasi alam atau dengan kawin silang, maka jadilah ikan koi seperti yang ada sekarang ini (Effendy 1993).
Akhir-akhir ini budidaya ikan mas dan koi mengalami kemunduran yang sangat drastis. Puluhan bahkan ratusan kematian ikan mas dan koi akibat infek virus KHV (Koi herpesvirus) sampai saat ini terus berlanjut dan sangat meresahkan pembudidayaan kedua jenis ikan ini termasuk pelaku usaha lainnya, seperti pabrik pakan, pengusaha pemancingan dan restoran. Sementa informasi tentang patogenitas KHV masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena KHV adalah penyakit yang sangat ganas dan menyebabkan kematian massal pada ikan koi dan ikan mas hingga mencapai 80-95% dalam kurun waktu satu minggu karena virus ini memiliki masa inkubasi antara 5-7 hari (Davenport 2001) Kerugian yang ditimbulkan virus ini sangat besar dan meresahkan pembudidayaan kedua jenis ikan ini. Secara kumulatif, kerugian yang ditimbulkan akibat penyakit ini mencapai 150 milyar. Di Indonesia KHV pertama kali terjadi pada ikan koi di Blitar, Jawa Timur pada bulan Maret 2002. Penyakit KHV ini mudah dan cepat menular pada ikan mas dan ikan koi tetapi tidak menular kepada manusia (Rukyani dan Sunarto 2003). Selain itu penyakit ini cepat menyebar karena dalam waktu satu minggu dapat mencapai sejauh 10-30 Km (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002).
Gejala awal yang ditimbulkan oleh virus ini tidak terlalu nyata, karena virus langsung menyerang bagian dalam tubuh ikan. Serangan yang bersifat akut ini berakibat kematian yang bersifat fatal pada populasi ikan. Pada umumnya gejala tidak teramati oleh petani. Gejala klinis yang terlihat pada ikan adalah berupa penurunan nafsu makan, lemah, kulit melepuh, hemorrhagi pada kulit dan sirip, dan yang paling khas adalah kerusakan pada insang atau insang gripis (Departemen Kelautan dan Perikanan 2004).
Pendeteksian kasus KHV di lapangan relatif sulit dilakukan karena infeksinya yang bersifat laten dan gejala klinis yang ditimbulkan tidak spesifik Pada level diagnosa secara laboratoris dilakukan dengan bermacam cara yaitu dengan isolasi virus dilanjutkan dengan identifikasi melalui histopatologis mikroskop elektron dan PCR. Namun metoda diagnosis yang umum dilakukan di beberapa laboratorium adalah metoda PCR dan teknik kohabitasi yang dilakukan dengan mencampur ikan sumber infeksi dengan ikan sehat dalam kurun waktu tertentu dan tekhnik infeksi buatan melalui penyuntikan partikel virus KHV. Pada teknik kohabitasi, rasio ikan sumber infeksi dan ikan sehat adalah 1 : 4-8 dalam waktu 7-10 hari (Departemen Kelautan dan Perikanan 2004).
Teknik yang saat ini tengah dikembangkan adalah pendeteksian KHV dengan menumbuhkan virus pada sel ikan koi itu sendiri secara in vitro. Sel kultur yang digunakan untuk isolasi virus ini adalah sel KT-2 yang berasal da organ ekor ikan koi. Dengan minimnya informasi ilmiah tentang aspek ekoloc dan biologi (epizootiologi) dari KHV maka sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat virulensi virus KHV pada suhu yang berbeda, sehingga diketahui suhu optimum dari pertumbuhan penyakit KHV dan kemampuan virus tersebut bereplikasi pada suhu tertentu.
Pengetahuan tentang suhu optimum dan minimum pertumbuhan virus dapat dijadikan sebagai langkah untuk mengantisipasi dan mewaspadai wabah KHV sehingga kekhawatiran petani akan munculnya kembali wabah dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dapat ditekan. Dengan demikian keindahan ikan koi tetap dapat dinikmati dan ikan mas tetap dapat dinikmati kandung proteinnya.
Disamping itu upaya pencegahan dan pengendalian KHV juga harus diikuti dengan perbaikan sistem karantina dan lalu lintas ikan koi baik ekspor impor maupun pengiriman ikan hidup antar daerah sesuai dengan keputusan Dirjen Perikanan dan Budidaya nomor 4999 tentang petunjuk teknis dan tata cara pengiriman ikan mas keluar pulau Jawa serta keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan nomor 28 tahun 2002, yang melarang pemasukan dan pengeluar ikan mas dan ikan hias koi dari pulau Jawa, serta menetapkan pulau Jav sebagai daerah wabah penyakit KHV (Direktorat Jenderal Perikanan Budidadaya 2002).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan virus KHV dalam bereplikasi pada suhu tertentu, sehingga diketahui suhu optimum dari pertumbuhan virus yang diinokulasikan pada media sel kultur KT-2.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya kembali wabah penyakit pada ikan koi akibat infeksi virus KHV dengan menghindari pemeliharaan ikan pada suhu optimum virus.




TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Koi (Cyprinus carpio)
Sejarah
Ikan koi muncul pertama kali sekitar 2.500 tahun yang lalu. Ikan ini bukanlah asli dari Jepang tetapi merupakan keturunan ikan karper liar yang berasal dari Asia Timur. Dalam bahasa Jepang koi lebih dikenal dengan sebutan Nishikigoi. Koi banyak dibudidayakan dan dikembangkan di daerah Jepang. Koi mulai dikenal masyarakat Jepang khususnya di daerah Niigata sekitar 160 tahun silam. Saat ini ikan koi sudah dikenal sebagai ikan nasional di Jepang dan Jepang merupakan sentra perkembangan ikan koi.
Pemeliharaan ikan koi meningkat drastis selama tahun 1980-an. Mulai dekade ini koi sudah mendunia dan menjadi komoditas industri. Koi mulai dikenal di Indonesia sekitar 1981-1982 (Effendy 1993). Sentra budidaya ikan koi di Indonesia saat ini meliputi daerah Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat Banten dan Sumatera.

Sejarah Koi herpesvirus (KHV)
Wabah KHV pertama kali terjadi di Israel dan USA pada tahun 1998 yang menyebabkan kematian lebih kurang 6000 ton ikan jenis common carp dengan kerugian mencapai lebih kurang 4 juta dolar (OATA 2001). Virus ini merupakan virus DNA yang sangat virulen karena menyebabkan kematian dalam waktu yang pendek. Di Asia khususnya di Indonesia, KHV ditemukan pertama kali pada sentra-sentra budidaya ikan koi di Blitar, Jawa Timur pada bulan Maret 2002. Wabah ini terjadi setelah musim hujan. Ikan koi ini berasal dari China yang masuk ke Surabaya melalui Hongkong pada bulan Desember 2001 dan Januari 2002; dengan total kematian mencapai 80-90%. Seperti diketahui bahwa Blitar merupakan pusat budidaya ikan koi di Indonesia, koi yang terinfeksi KHV distribusikan ke daerah sekitar pulau Jawa.
Wabah kedua terjadi pada jenis common carp sekitar akhir April 2002 di Subang Jawa Barat. Gejala yang timbul sama dengan penyakit KHV pada ikan koi sebelumnya di Blitar. Sejak itu wabah menyebar ke daerah sekitarnya seiring dengan perpindahan ikan.
Episode ketiga dari wabah ini terjadi pada bulan Mei 2002 di sentra budidaya ikan mas di daerah Cirata Jawa Barat. Seminggu sebelum wabah, para petani ikan membeli ikan dari Subang dengan harga yang murah.
Wabah terjadi di daerah Lubuk Linggau, Sumatera Selatan pada bulan Februari 2003. Gejala yang ditimbulkan juga sama seperti yang diobservasi pada common carp di pulau Jawa. Kemudian wabah terus menyebar di propinsi sekitarnya termasuk Bengkulu dan Jambi (Sunarto et al. 2005).
Penyebaran yang cepat oleh KHV diduga berhubungan dengan adanya perdagangan ikan koi antar negara dan pameran atau pertunjukan ikan koi Internasional. Sejak meluasnya wabah KHV mulai diberlakukan uji kesehatan dan sertifikasi ikan. Inspeksi ikan sebelum pengiriman atau di farm koi dapat mencegah penyebaran yang lebih luas.

Sifat dan Morfologi
Virus bukan termasuk sel dan hanya dapat hidup dalam sel makhluk hidup. Diluar sel, virus bersifat sebagai benda mati. Ukuran virus bervariasi antara 30-300 nm. Virus Herpes adalah virus yang berukuran besar dibandingkan virus lainnya. Struktur virus Herpes dari dalam keluar terdiri atas genom DNA untai ganda linear berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen dan selubung, sebagian selubung berasal dari membran sel yang diinfeksinya. Karena dalam selubung mengandung unsur lipid, virus Herpes menjadi sensitif terhadap pengaruh detergen dan pelarut lipid lainnya (Daili dan Makes 2002). Virus Herpes bereplikasi dalam metabolisme sel inang dengan menggunakan asam nukleatnya. Virus yang menempel pada induk semang akan masuk ke metabolisme induk semang dan bergabung membentuk sejumlah virus yang keluar dari sel induk semang dengan merusak membran plasma (lisis sel) (Sugiri 1992).
Virus tidak dapat diobati dengan antibiotik, sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif terhadap virus. Namun beberapa penyakit viral dapat dicegah dengan vaksinasi misalnya rabies, polio, hepatitis dan sebagainya. Virus Herpes termasuk golongan virus yang virulen dan tergolong pada virus DNA.
Epizootiologi
Virus KHV ini hanya menyerang golongan ikan jenis ikan mas dan koi dan dapat menyebabkan kematian yang sangat tinggi hingga 80-90%. Penyebaran penyakit ini adalah melalui kontak langsung antara ikan yang sehat dengan ikan yang sakit, kontaminasi air dan peralatan. Diduga fenomena virus KHV bersifat laten dan akan aktif pada keadaan tertentu seperti stres dari transportasi dan penanganan serta pergantian lingkungan dan fluktuasi temperatur (Sunarto et al. 2005).
KHV yang telah berhasil diisolasi dari ikan koi dan ikan mas diidentifikasi sebagai virus DNA penyebab kematian massal pada kedua jenis ikan tersebut. Virus KHV menunjukkan derajat spesifisitas terhadap jaringan dan inangnya yaitu genus Cyprinus. Kebutuhan pertama sel untuk infeksi adalah kesesuaian hubungan antara molekul perlekatan virus (ligan) dengan reseptor sel. Setelah penembusan dan pelepasan selubung, replikasi virus tergantung pada aktifitasnya.
Virus KHV yang ada saat sekarang ini berbeda dengan virus Herpes yang ditemukan terlebih dahulu pada ikan mas yaitu Cyprinid Herpesvirus (CHV). Ciri-ciri CHV telah di observasi oleh Schuber (1996) dengan menggunakan mikroskop elektron kemudian diisolasi dan karakteristik secara menyeluruh yang dilakukan oleh Sano et al. (1985). CHV menyebabkan papiloma pada kulit atau lesio cacar pada ikan yang lebih tua dan bersifat sistemik serta menimbulkan infeksi yang mematikan pada ikan koi dan ikan mas kurang dari umur 2 bulan (Sano et al. 1991). Secara morfologi KHV termasuk golongan Herpesvirus yaitu virus dengan bentuk heksagonal dengan ukuran diameter 110 nanometer. Karena tergolong dalam virus Herpes maka virus ini dapat bersifat carrier (pembawa) dan timbul kembali pada kondisi stres. Studi komparatif menunjukkan bahwa KHV di Indonesia memiliki persamaan sekuen DMA dengan KHV dari Amerika Serikat (Rukyani dan Sunarto 2003).
Virus ini hidup dan berkembangbiak pada suhu diantara 18-30⁰C. Oleh karena itu serangan penyakit KHV akan mereda apabila ikan dipelihara diluar rentang suhu tersebut. Masa inkubasi yang dimiliki virus ini adalah antara 5-7 hari dengan tingkat kematian mencapai 80-95% dalam waktu satu minggu sejak gejala klinis muncul (Davenport 2001).

Kultur Sel Hewan
Kultur jaringan adalah proses pembiakan jaringan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol dengan tujuan untuk mempelajari berbagai sifat jaringan tubuh dalam kondisi yang lebih sederhana dan terkontrol diluar tubuh.
Perkembangan yang pesat dari kultur jaringan sebagai teknik yang modern dan canggih terutama berkaitan erat dengan kebutuhan penelitian studi tentang virus dan tumor.
Menurut Sugiri (1992), jika sel dikultur dalam wadah bervolume tetap, maka baik kepadatan populasi (jumlah sel per unit volume kultur), maupun besarnya populasi (jumlah seluruh sel dalam biakan) selama fase eksponensial meningkat dengan laju yang sama besar. Berarti biakan sel dengan medium yang tetap dalam jangka waktu tertentu sel akan kehilangan nutrisi dan limbah metabolit yang berdifusi dari sel akan memenuhi media serta memberikan efek pada sel berupa bertambah besar atau mengecil. Pertumbuhan dan perkembangan sel disebut daur sel. Satu daur sel terjadi dalam satu jangka waktu generasi. Lamanya daur sel ditentukan oleh replikasi DNA nucleus. Seluruh daur sel pada sebagian besar sel hewan adalah 10-25 jam.
Pertumbuhan sel secara in vitro membutuhkan sejumlah media untuk pertumbuhannya, sejumlah bahan nutrisi menentukan pertumbuhan sejumlah sel, ini berarti jumlah dan kualitas bahan nutrisi yang tersedia dalam media menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan dalam media tersebut (Sugiri 1992).
Media penumbuh dalam kultur harus menyediakan semua kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan sel secara in vivo agar sel dapat bertahan hidup, berkembang biak dan berdiferensiasi. Medium ekstraseluler tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan esensial untuk hidup dan berkembang biak yaitu bahan nutrisi, hormon dan unsur stroma. Diantara cairan sel yang terbukti dapat memenuhi kebutuhan sel diluar tubuh adalah serum. Walaupun kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan secara optimum telah terpenuhi oleh media buatan, serum masih diperlukan senyak 5-20% dalam medium kecuali untuk tujuan tertentu karena serum mengandung bahan-bahan yang tidak terkarakterisasi harus dikeluarkan dan sepenuhnya menggunakan media buatan. Serum merupakan campuran yang kompleks dari berbagai biomolekul yang kecil maupun yang besar yang memiliki berbagai aktivitas pendorong dan penghambat pertumbuhan yang berada dalam keseimbangan fisiologis. Sejumlah komponen serum diketahui telah mendukung daya hidup dan pertumbuhan berbagai sel mamalia dalam kultur. Fungsi utama serum adalah sebagai faktor hormonal yang menstimuiasi pertumbuhan dan aktivitas sel, faktor pembantu terjadinya perlekatan sel dan penyebarannya, dan sebagai protein pembawa hormon, mineral, lemak dan lainnya (Malole 1990).
Penggunaan media juga bergantung dari tujuan pengkulturan sel dan jenis sel yang dikultur. Menurut Malole (1990) dalam bukunya yang berjudul Kultur sel dan jaringan hewan menjelaskan bahwa semua organisme berasal dari satu sel yang mengalami pertumbuhan menjadi ektoderm, mesoderm dar endoderm. Pada penggunaannya dalam kultur sel yang berasal dari mesodern (fibroblast, endotel dan myoblast) lebih mudah dikultur dari pada epitel, neuron dan jaringan endokrin. Karena sel-sel mesoderm lebih peka terhadap faktor mitogenik yang ada pada serum. Sel fibroblast dan endotel mampu berdiferensiasi dan bereplikasi di dalam kultur, sedangkan sel epitel tanduk dan sel-sel hematopoitik bila mengalami diferensiasi tidak dapat bereplikasi lagi. Mekanisme pertumbuhan sel dimulai dengan fase pertumbuhan lambat (lag phase), diikuti dengan fase pertumbuhan logaritmik, fase stasioner dan terakhir terjadi penurunan jumlah sel serta sel mati.
Sel kultur yang dapat tumbuh dan dapat di pasase atau subkultur secara berkelanjutan dapat menghasilkan continous cell line atau sel lestari. Terbentuknya continous cell line biasanya ditandai dengan perubahan morfologi sel (berupa sel yang lebih mengecil, kurang erat melekat, lebih bulat, perbandingan inti dengan sitoptasmanya lebih besar), lebih cepat tumbuh, waktu yang dibutuhkan untuk tumbuh menjadi dua kali populasi semula menjadi lebih pendek yaitu 36-48 jam menjadi 12-36 jam, ketergantungan pada serum berkurang (lebih mampu berproliferasi dalam suspensi sebagai kultur cair atau koloni terpisah dalam agar), dan derajat heteroploitnya meningkat (peningkatan variasi kromosom diantara sel). Keuntungan continous cell line adalah tingkat pertumbuhannya lebih tinggi, kepadatan sel lebih tinggi, lebih banyak sel yang dihasilkan, sedikit membutuhkan serum, lebih mudah dipelihara dalam medium yang sederhana dan mampu tumbuh dalam suspensi. Sedangkan kekurangan dari continous cell line adalah susunan kromosomnya sangat labil, fenotipenya menyimpang dari sel donor dan kehilangan sifat spesifik jaringan (Malole 1990).
Pada pengkulturan sel, teknik aseptik harus selalu diterapkan untuk menghindari adanya kontaminan. Penggunaan antibiotik saja tidak cukup untuk mengeliminasi mikroorganisme yang ada, karena banyaknya sumber kontaminan yang tidak terjangkau oleh antibiotik seperti pekerja, lingkungan dan udara yang terkontaminasi oleh bakteri, kapang dan spora. Oleh karena itu semua paralatan dan bahan yang berhubungan dengan kultur sel harus steril dan semua kegiatan diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontak antara kultur sel dengan lingkungan yang tidak steril.








MATERI DAN METODA

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2010 di Laboratorium Virologi, Laboratorium Riset Kesehatan Ikan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Materi Penelitian
Kultur Sel dan Isolasi Virus
Penelitian ini menggunakan sel kultur yang berasal dari sel KT-2 (Koi Tail 2) dengan konfluensi lebih dari 80%. Sel kultur KT-2 yang digunakan berasal dari hasil pasase sel ke-4 (KT-2 P4). Isolat virus yang digunakan adalah isolat virus KHV (Koi herpesvirus) hasil pasase virus ke-5 (P5 KHV). Sel kultur KT-2 yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sel yang didapat dari penelitian sebelumnya yaitu primary cell line dari organ ekor ikan koi yang dipasase secara terus menerus. Adapun prosedur pembuatan primary cell line adalah pertama ikan koi yang telah disiapkan dibunuh dengan melakukan perusakan spinal chord, organ ekornya diambil dan diletakkan di dalam beaker glass yang berisi larutan klorin pekat. Organ ini kemudian diambil dan dicuci dengan air ledeng mengalir dan kemudian letakkan kembali dalam larutan klorin sambil dikelupas sisiknya, kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer yang berisi air yang steril, dicuci sampai bersih. Organ dalam erlenmeyer diambil dan ditempatkan ke dalam cawan petri steril dan dibawa keruang kultur. Tambahkan 10 ml PBS yang telah dicampur dengan Kanamicin dan Penicilin Streptomicin ke dalam cawan petri, kemudian organ dicacah menggunakan pisau dan pinset steril. Potongan organ ini dipindahkan dalam erlenmeyer lalu dicuci dua kali dengan campuran larutan PBS, Kanamicin dan Penicilin Streptomicin hingga larutan bening. Setetah itu cacahan organ dipindahkan ke dalam botol Scott yang telah berisi magnetic stirrer dan diinkubasikan selama 1,5 jam pada suhu 28°C. Larutan pada botol Scott diganti dengan campuran larutan PBS dan Tripsin sebanyak 20 ml, dikocok dan dibuang lagi larutan tersebut dan diganti dengan larutan PBS dan Tripsin yang baru. Campuran larutan yang berisi cacahan organ ini diletakkan di atas stirrer kemudian diaduk selama 24 jam hingga warna larutan tersebut menjadi keruh, tujuannya agar komponen sel-sel yang terdapat di organ ekor tersebut menjadi terurai dengan sempurna. Lalu sel dipanen dengan mengambil 10 ml larutan sel dan ditambahkan 3 tetes serum kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Pelet hasil sentrifuse dilarutkan dalam 6 ml PBS yang sudah dicampur dengan Kanamicin dan Penicilin Streptomicin, kemudian dimasukkan ke dalam 3 buah flask 25 cm2 (masing-masing 2 ml), lalu ditambahkan medium pertumbuhan sel ke dalam masing-masing flask tersebut. Dalam perkembangannya sel disimpan dalam inkubator suhu 28°C. Waktu yang dibutuhkan dari primary cell line hingga pasase ke-5 adalah kurang lebih 3 bulan (Antoni 2005). Penggunaan pasase ke-5 ini adalah untuk keseragaman sel pada setiap perlakuan karena kuantitas sel di laboratorium yang mencukupi pada saat penelitian adalah kultur sel KT-2 P5.


Bahan Kimia
Bahan Kimia yang digunakan selama penelitian ini adalah Alkohol 70% sebagai desinfektan. Media pertumbuhan sel yang mengandung Leibovitz's L-15 medium, Penicilin Streptomicin, Kanamicin, L-Glutamin 200 mM, dan larutan FBS (Fetal Bovine Serum) 10%. Untuk pencucian media diperlukan PBS (Phospat Buffer Saline) dan Tripsin 0,25%. Bahan yang digunakan untuk pengujian menggunakan PCR antara lain DNA extraction kits untuk proses ekstraksi, master mix untuk amplifikasi. Primer yang digunakan merupakan desain primer yang dilakukan ORF 25 sekuen lengkap koi herpes virus (Akoi et al. 2007) yang dimulai dari basa ke-45587 sampai 47393. Primer forward disusun dari startcodon ATG sampai basa ke-19, sedangkan primer reverse disusun dari stopcodon TAA dan ditentukan basa komplemennya sampai sebanyak 22 basa. Untuk keperluan konstruksi sehingga hasil amplifikasi sesuai situs yang ada di vektor ekspresi maka ke dalam primer forward disisipkan situs Sal.l gel agarosa untuk proses elektroforesis dan Ethidium Bromida (EtBr) untuk pewarnaan hasil elektroforesis.

Alat Penelitian
Alat yang digunakan antara lain adalah multiwell plate, Sentrifuse Tomi TX-60, pipet 1 ml dan pipet 10 ml, tissue, Erlenmeyer 25 ml, Biohazard Cabinet Safety, timbangan, cryotube, mikroskop cahaya, kamera digital, inkubator suhu 15, 20, 25, 30 dan 35°C, termometer maksimun minimum, refrigerator, jas lab, marker. Untuk PCR alat yang digunakan adalah termocycler, UV trans-iluminator, alat elektroforesis dan photo polaroid. Perlu diketahui bahwa semua alat yang digunakan harus steril. Sterilisasi alat gelas menggunakan autoclave dengan pemanasan 160°C selama 1 jam.

Metodologi
Persiapan dan Pembuatan Media
Persiapan pertama yang dilakukan adalah thawing media L-15, Kanamicin, Penicillin Streptomicin, L-Glutamin hingga cair, kemudian dilakukan pencampuran media dengan komposisi L-15 350 ml, Penicilin Streptomicin 3,5 ml, Kanamicin 3,5 ml, L-Glutamin 3,5 ml, dan FBS 10% 35 ml. Pembuatan media dilakukan di dalam Biohazard Cabinet Safety dengan ruangan yang terpisah dari isolasi virus, kemudian media disimpan di refrigerator.

Pasase sel dan Persiapan sel
Sel yang digunakan berasal dari sel KT-2 hasil pasase dari P4. Pasase dilakukan pada sel yang telah mengalami konfluensi mendekati 100%. Pasase atau subkultur ditujukan agar mendapatkan sel yang lestari. Pasase dilakukan dari satu flask (botol) menjadi dua atau tiga flask dengan split ratio 1:3. Pasase dilakukan dengan cara media kultur dibuang dengan hati-hati, limbah media kultur dibuang dalam Erlenmeyer dan didesinfektan selama 24 jam sebelum dibuang. Tujuan desinfeksi adalah untuk menghilangkan kandungan zat-zat kimia dalam media sehingga tidak mencemari lingkungan. Kemudian dilakukan pembilasan sel dengan menambahkan 5 ml larutan PBS yang dilewatkan pada permukaan flask yang berlawanan dengan permukaan tempat sel tumbuh. Pencucian dilakukan dengan membalikkan kembali flask secara hati-hati sehingga larutan pembilas mengenai semua bagian permukaan sel, kemudian larutan PBS dibuang. Pencucian dilakukan minimal dua kali.
Ke dalam kultur monolayer yang telah dicuci, ditambahkan larutan Tripsin yang berfungsi melepaskan ikatan sel dari permukaan flask. Larutan Tripsin sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam flask dan harus mengenai semua permukaan sel dengan cara memiringkan flask secara hati-hati, kemudian diinkubasikan selama 0,5 - 1 menit sampai lapisan sel terlihat putih (opaq) yang berarti sel telah terangkat dari flask. Larutan Tripsin dibuang kemudian sel diinkubasikan selama lebih kurang 1,5 menit. Pemisahan dan pelepasan sel dari permukaan flask dapat dilakukan dengan menepuk flask menggunakan tangan secara perlahan, lalu diamati dibawah mikroskop untuk memastikan sel telah terlepas dari flask dan saling terpisah.
Sebelumnya disiapkan 12 plate multiwell yang telah berisi media kultur sebanyak 0,5 ml. Suspensi sel dilarutkan dalam 6 ml media kultur yang dibagi ke dalam 12 plate. Plat yang diisi adalah deretan tengah (B atau C) untuk memudahkan pengamatan. Tiap perlakuan diberi identitas nama sel, nomor pasase, tanggal pasase, perlakuan suhu dan operator lalu masing-masing sel pada multiwell plate diinkubasikan pada suhu 25⁰C. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai konfluensi mencapai lebih dari 80%. Untuk sel kontrol disediakan satu multiwell plate dengan 3 kali ulangan dan disimpan pada suhu 25⁰C.

Inokulasi Isolat Virus KHV pada Sel KT-2
Setelah konfluensi mencapai lebih dari 80%, berarti sel telah siap untuk diinokusikan isolat virus KHV. Cara membuat isolat virus adalah pada sel yang telah habis katena virus KHV. Sentrifugasi dilakukan menggunakan tabung cryotube selama 15 menit dengan kecepatan 1500rpm pada suhu 4⁰C. Setelah proses sentrifugasi, supernatan diambil menggunakan pipet lalu dimasukkan ke dalam microtube dan diberi marker. Dilakukan secara hati-hati jangan sampai pelet ikut terbawa dalam supernatan. Semua proses pemanenan virus dilakukan di dalam Biohazard cabinet Safety untuk menghindari adanya kontaminan dari luar. Kemudian dilakukan inokulasi virus pada seel yang telah konfluen mencapai lebih dari 80% pada multiwell plate dengan prosedur sebagai berikut, langkah pertama, media kultur diambil dengan menggunakan pipet 1 ml, dilakukan secara hati-hati sehingga sel tidak ikut terbawa. Kemudian ditambahkan isolat virus sebanyak 0,2 ml ke dalam sel pada semua plat. Lalu diinkubasikan selama 1 jam pada suhu 25⁰C. Setelah 1 jam ditambahkan media pertumbuhan baru bagi sel. Selanjutnya sel diinkubasikan pada inkubator 15,20,25,30, dan 35⁰C sesuai dengan perlakuan. Masing-masing perlakuan ditempatkan pada multiwell yang berbeda dengan 3 kali ulangan yaitu ditempatkan pada multi plate yang sejajar. Jadi dibutuhkan 5 multiwell plate untuk 5 perlakuan yang berbeda. Sedang untuk kontrol berbeda dengan sel pada tiap perlakuan yaitu kontrol tidak diinokulasikan dengan virus dan diinkubasi pada suhu 25⁰C.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mikroskop cahaya terhadap semua plat yang telah diinokulasikan dengan isolat virus KHV termasuk kontrol sel. Pencatatan dilakukan setiap hari terhadap perubahan pada sel yang disertai dengan dokumentasi menggunakan kamera digital yang terhubung pada mikroskop.

Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Kultur sel KT-2 post infeksi virus KHV 14 hari diuji dengan metode PCR. Tujuannya untuk membuktikan keberadaan DNA virus KHV di dalam supernatan dari kultur sel yang telah disentrifugasi. Supernatan virus KHV diekstraksi dengan menggunakan DNA extraction kit, sehingga diperoleh pelet DNA. Kemudian dilanjutkan dengan proses amplifikasi (denaturasi, anneling dan anneling). Selanjutnya dilakukan analisa hasil PCR dengan elektoforesis pada gel agarosa dan pewarnaan menggunakan Ethium Bromida (EtBr). Kemudian hasil dapat diamati pada UV trans-illuminator dan didokumentasikan dengan kamera Polaroid.

Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisi secara dskriptif yang disajikan dalam bentuk gambar.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. 2007. Koi Herves Virus (KHV): Penyebab Kematian Massal pada Ikan Mas dan Koi. [terhubung berkala]. http:// indoorcommunity .wordpress.com /2007/ 07/24/ koi-herves-virus-khv-penyebab-kematian-massal-pada-ikan-mas-dan-koi/.[7 January 2010].
Anonim 2. 2006-2007. Koi Health: Information On Koi Herpesvirus.[terhubung berkala]. http://www. Koihealth .org/. [7 Januari 2010].
Anonim 3. 2006. Koi Herpes Virus (KHV). What is it, and What happens next?. [terhubung berkala]. http://www.pond-doctor.co.uk/longkhv.html. [7 January 2010].
Mark Crane, Motohiko Sano, and Cedric Komar. 2004. Infectionwith Koi Herpesvirus Disease Card.














DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. 2007. Koi Herves Virus (KHV): Penyebab Kematian Massal pada Ikan Mas dan Koi. [terhubung berkala]. http:// indoorcommunity .wordpress.com /2007/ 07/24/ koi-herves-virus-khv-penyebab-kematian-massal-pada-ikan-mas-dan-koi/.[7 January 2010].
Anonim 2. 2006-2007. Koi Health: Information On Koi Herpesvirus.[terhubung berkala]. http://www. Koihealth .org/. [7 Januari 2010].
Anonim 3. 2006. Koi Herpes Virus (KHV). What is it, and What happens next?. [terhubung berkala]. http://www.pond-doctor.co.uk/longkhv.html. [7 January 2010].
Pasaribu, F.H. 2009. Penggunaan Pelet Yang Mengandung Imunoglobulin-Y (IgY) Anti Koi Herpes Virus (KHV) Dalam Upaya Pengendalian Wabah Penyakit KHV Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio carpio) dan Koi (Cyprinus carpio koi). Usulan Penelitian Unggulan Institut Pertanian Bogor (PUI) 2009.
Mark Crane, Motohiko Sano, and Cedric Komar. 2004. Infectionwith Koi Herpesvirus Disease Card.

PATOGENESA PENYAKIT MKM IPB 09

HUBUNGAN MEKANISME IMUNOMODULASI DENGAN
KEGUNAAN KLINIK DAN EFEK SAMPINGNYA

Pendahuluan
Belakangan ini banyak ilmuwan meneliti tentang sistem imun yang berhubungan dengan kegunaan suatu zat yang berkhasiat sebagai imunomodulator. Penelitian ini terus berlangsung baik dari segi mekanismenya, kegunaan kliniknya bahkan efek sampingnya. Walau banyak masyarakat menggunakan pengobatan alternatif sebagai solusinya. Imunomodulator dalam perkembangannya terus diteliti guna menemukan solusi untuk mengatasi berbagai penyakit tersebut.
Imunomodulator adalah material penting yang dapat mempengaruhi reaksi biologis tubuh terhadap material asing. Imunomodulator di desain sesuai fungsi dari imunitas tubuh. Mengingat sistem imun terdiri dari 2 golongan yaitu sistem imun yang spesifik dan non spesifik. Yang termasuk dalam sistem imun spesifik adalah sitem humoral dan seluler. Sistem humoral meliputi IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE yang mana ini diproduksi oleh sel B. Sedangkan sistem selular meliputi Th1,Th2,Ts/Tr/Th3, Tdth,CTL/Tc. Produk sistem selular tersebut disekresikan oleh sel T. Sel fagosit (polimorfonuklear dan mononuklear, sel NK, sel Mast dan basofil merupakan hasil sekresi dari sistem imun selular yang non spesifik, demikian pula produk humoral berupa komplemen, interferon dan CRP serta produk biokimia berupa lisozim, sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin dan asam neuraminik. Sistem imun non spesifik terekspresikan pula secara fisik berupa kulit, selaput lendir, silia, batuk dan bersin.
Sistem imun baik spesifik maupun non spesifik mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan imunitas spesifik adalah selalu tersedia dengan respon yang cepat, sedang pada imunitas non spesifik memperlihatkan respon intern dan mempunyai sistem perlindungan yang baik selama infeksi. Produk imunitas non spesifik ini dapat berlebihan dan ia mempunyai sedikit sel memori. Kedua imunitas tersebut diendalikan oleh adanya persentasi antigen pada tingkat tinggi rendahnya sitokin.
Interaksi antara antigen dan interleukin-2 akan merangsang sel T CD4 untuk memproduksi IFNγ; gabungan IL-2,IL-4, IFNγ dan IL-5; dan IL-2, IFNγ. Fungsi dari produk tersebut satu sama lain berbeda, yaitu IFNγ dapat mengaktivasi makrofag untuk memfagositosis; gabngan IL-2,IL-4, IFNγ dan IL-5 pada selB dapat mensekresikan antibodi dan melakukan pengalihan isotop; dan IL-2, IFNγ melalui sel T CD8 akan menentukan diferensiasi CTL. Hal tersebut merupakan urutan mekanisme dari imunitas spesifik.
Berbeda dengan imunitas spesifik, imunitas non spesifik menunjukkan bahwa kehadiran mikroba akan mempengaruhi kerja sel NK terhadap aktivitas makrofag yang dibantu oleh IL-2 dan IFNγ. Kehadiran makrofag ini dapat memfagositosis mikroba. Dari sisi lain, makrofag mempengaruhi kemunculan TFN, IL-1 dan kemokin dalam pembuluh darah serta neutrofil sehingga tampak respon inflamasi.
Interferon, interleukin, kemokin dan TFN merupakan bagian dari sitokin pada imunitas nonspesifik. Yang mana sitokin merupakan polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin secara umum kehadiran IL-4 akibat aktivitas sel Th CD4 dapat meningkatkan produksi IgE oleh sel B, diferensiasi Th2 oleh sel T CD4 dan hambatan aktivitas makrofag, demikian sel B mengalami proliferasi ketika sel Th CD4 teraktivasi dan mensekresikan IL-2, IL-4 dan IL-5. Kejadian lain, bila kehadiran IFN γ dan TNF dapat meningkatkan kemunculal MHC-I pada berbagai jenis sel, sebaliknya kehadiran IFNγ dapat mengaktivasi makrofag, dan IL-4 justru menghambat aktivitas makrofag dalam memfagositosis material antigen.
Skema Sasaran Imunomodulator terhadap Respon Imun:
1.pengenalan antigen
2.Proliferasi
3.Difensiasi/sintesis
4.komplemen
5.Interaksi dg Antigen
6.Cidera jaringan

Zat Aktif dan Tempat Kerjanya:
Prednison-2,6
Siklosporin-2,3
Azatioprin-2
Metotreksat-2
Daktinomisin-2,3
Siklofosfamid-2
Globulin antilimfositik dan antibodi- anti sel T monoklonal-1,2,3
Globulin imun Rho (D)-1
Interferon-2

Imunomodulator
Imunomodulator dikenal jugan Biological Response Modifiers. Imunomodulator merupakan material yang dapat mempengaruhi reaksi biologikal tubuh terhadap material asing. Imunomodulator bekerja dengan 2 cara, yaitu dengan menekan dan merangsang sistem imun. Istilah menekan sistem imun ini dikenal dengan imunosupresif, dan merangsang sistem imun dikenal dengan imunostimular.
Mekanisme imunomodulator
a.Imunosupresif
Ada beberapa cara perlakuan penekanan sistem imun yaitu 1) Melakukan hambatan terhadap transkrisi dari sitokin sehingga respon imun menjadi lemah atau rendah, 2) Penghambatan langsung pada efek sitostatis terhadap tempat perbanyakan dan diferensiasi limfosit yaitu pada IL-2, dan 3) melakukan inaktivasi sel T oleh antibodi terhadap limfosit.
b.Imunostimutor
Imunostimulator secara tidak langsung mereaktifkan sistem imun yang rendah dengan meningkatkan respon imun nonspesifik. Antara lain perbanyakan limfo-T4, sel NK, dan makrofag dengan cara menstimulasinya, serta pelepasan interferon dan interleukin. Sebagai reaksi akhir dan reaksi kompleks itu, zat asing dapat dikenali dan dimusnahkan. Pada sel-sel tumor, ekspresi antigen transplantasi diperkuat olehnya, sehingga leih mdah dikenali oleh TNF dan sekresi sitokin.

Hubungan Imunomodulator dengan Kegunaan Klinis dan Efek Samping
a.Zat Imunosupresif
Imunosupresif berarti penting pada dunia kedokteran. Imunosufresif dapat mencegah reaksi penolakan pada kasus transplantasi organ. Zat yang mengandung imunosupresif adalah kortikosteroid, azatioprin, siklofosfamida, atau myofenolat, siklosporin-A dan tacrolimus serta limfositimunoglobulin (Lymoglobulin). Zat lain dalah sulffasalazin, dan talidomida. Sulfadiazin dan talidomida sering digunakan pada kasus rematik dan colitis ulcera dan menunjukkan asil yang baik.
Penyakit autoimun, pada gangguan ini, fungsi sistem autoimun terganggu akibat adaya autoantibodies, pada limfo T dan sel NK menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. Keadaan ini dapat terjadi bila sistem mun tidak berdaya (lagi) untuk mengenali jaringan tubuh sendiri sebagai miliknya dan menyerangnya. Gangguan autoimun terkenal adalah rema, diabetes tipe I (menyerang manusia yang masih muda), multiple sclerosis, systemic lupus erythematodes, penyakit hron, colitis ulcerosa, penykit Syogren, myathmia gravis, dan radang tiroid. Faktor genetis, humoral, viral dan lingkungan berperan pada maipestasi penyakit tersebut, namun kejelasan sistem imun lebih dalam masih dalam tahap penelitian.

Auto antibodies dalam keadaan normal juga dibuat olh sistem imun, tetapi segera diinaktifkan oleh makrofag dan limfo-T. Bila produksi terlalu banyak maka jaringan akan mengalami kerusakan, misal pada kasus membran glomerulus ginjal. Dapat pla mengacaukan fungsi suatu proses, misal pada Achetilcolin (Ach) ada kasus myathemia gravis. Kemungkinan lain adlah terbentuknya komplek imun yang beredar dengan aktivitas biologis. Kerusakan jaringan secara hebat akibat adanya pengendapan misal pada ginjal, kulit, sendi dan sistem syaraf. Aktivitas dari komplemen, akuulasi dan aktivitas dari neutrofil dapat pula terjadi dengan melepaskan enzim protease yang bersifat merusak. Pada dekstruksi jaringan ini ternyata juga juga terlibat makrofag, monocyt, sel T4 dan sel T8.

Siklosprorin
Siklosporin disintesis dari Tolypocalmidium infatum dan terdiri dari 11 asam amino. Bersifat imunosupresif istimewa dengan jalan menghambat secara spesifik sistem imun seluler . proliferasi sel T dan sel sitotoksin dihambat secara selektif dn reversibel. Serta merintangi pelepasan IL-2 dn banyak limfokin lainnya. Produk limfo T supressorcells justr distimulasi. Biasanya zat siklosprin digunakan pada transplantasi organ atau sumsum untuk prolilakse dn penanganan reksi penolakan. Juga pada psoriasis, colitis dan penyakit Crohn. Siklosporin yang dikombinasikan dengan kortikoda atau lainnya dengan maksud mengurangi resiko nefrotoksisitasnya. Siklosporin dalam usus sangat reversibel, ia bersifat sangat lipofil sehingga dapat terdistribusi dengan baik. Dalam hati zat ini metabolisme menjadi 15 macam dan ekskresikan melalui empedu dengan siklus entrohepatis dan hanya 6 yang melalui kandung kemih.

Nefrotoksisitas merupakan resiko utama dari zat ini, tergantung andungan kreatinin. Selain itu resiko terhadap hipertensi, hiperlidemia, hipertrichosis, gangguan usus, nyeri kepala, tangan tera terbakar, hiprtensi,konvulsi, gangguan fungsi darah, dan lain-lain. Zat ini bersifat karsinogenik, terutama bila digunakan lama dengan dosis tinggi (limfoma, kanker kulit). Zat ini digunakan pada 4-12 jam sebelum perlakuan hingga 1-2 bulan pada kasus transplantasi oral, juga sebagai infus intravena dengan konsentrasi disesuaikan dengan kodisi aslinya dalam darah.

Tracolimus
Merupakan senyawa makrolida yang diekstraksi dari fungi treptomeces tsukubaensis (1993). Zat ini berperanan sebagai imunosupresif dengan konsentrasi 50 kali lebih tinggi daripada siklosporin. Dalam mekanismenya berperan untuk mencegah sintesa IL2 yang diperlukan mutlak pada proliferasi sel T.
Biasanya digunakan untuk transplantasi hati, jantung, paru-paru dan ginjal. Terutama digunakan bersama kortikosteroida. Digunakan 6 jam setelah transplantasi selama 2-3 hari. Tetapi zat ini lebih sering menunjukkan efek samping berupa toksisitas bagi ginjal dan syaraf.

Myofenolat-mofetil
Dalam perkembangannya zat myofenolat-mofetil muncul pada tahun 1996, dalam mekanismenya, zat ini menekan perbanyakan limfosit melalui hambatan enzim dhidrogenase yang digunakan dalam sintesis purin (DNA/RNA). Zat ini sangat efektif untuk menolak kasus akut dari transpantasi ginjal. Mungkin dapat pula untuk penolakan transplantasi bersifat menahun. Zat ini akan menjadi aktif ketika dalam hati. Setelah mengalami ressirkulasi enterohepatis, zat ini akan diekskresikan melalui urin alam bentuk glukuronida yang in aktif.

Kortikosteroida
Hormon ini berguna sebgai anti radang, imunosupreif dan antialergi. Kedua efek terakhir tampak sebagai reaksi imun di jaringan, namun tetap berhubungan denga anti radang. Pengurangan migrasi sel dan aktivtas makroag/monosit di jaringan dlam memfagositosis. Dapat merombak jaringan limfatik dimana sel T dan sel B berperan. Zat ini merupakan material tambahan pada penyakit auto imun misal rema, sjogren, SLE dan MS serta pada terapi kanker.

Efek samping dari kortikosteroida adalah menyerupai gejala dari suatu gangguan yang disebabkan kortisol yang berlebihan yaitu sindroma cushing. Gejala ini sering muncul, yaitu menyerupai tumor di hypfyse dan hiperproduk ACTH sehinggaefek yang muncul adalah adanya retensi cairan di jaringan-jaringan yang dapat meningkatkan berat badan degan pesat, selain itu terjadi penumpukan lemak di ponok, selain itu muncul garis kebiru-biruan diman kulit mudah terluka akibat penipisan kulit.

Talidomida
Talidomida merupaka derivat piperdin (1957) adalah salah satu zat yang berefek tidur dan bersifat teratogenik. Zat ini berkhasiat sebagai anti angiogenesis dan imunosupresif serta anti radang. Zat ini dapat digunakan pada 1990=an utuk menekan rekasi lepra dan meringankan gejala AIDS.
Efek samping dari zat ini adalah bila digunakan pada individu bunting dpat menyebabkan fetus lahir cacat (teratogenik), biasanya pada bagian ekstremitas tangan dan kaki. Hal ini disebabkan oleh kerja dari zat ini yang dapat menhambat pembenttukan pembuluh-pembuluh darah (antiangiogenesis).

Sulfasalazin
Zat ini bersifat sebagai anti radang dngan blokade siklo-oksigenase serta lipoksigenase sehingga mencegah prostaglandin dan leukotrin serta mempengruhi limfosit melalui sitokin. Alam penggunaan kliniknya sebagai anti radang pada penyakit radang kronis pada usus.
Efek samping dari zat ini adalah berkaitan dengan mekaisme kerjanya dimana zat ini dapat menghambat sintesa prostaglandin dan fungsi trombosit. Sehingga efek klinis tampak individu dengan gangguan fungsi ginjal yaitu perfusi dan laju filtrasi glomerulus berkurang akibat vasokonstriksi sehingga terjadi insufisien, nefritis interstitial dan kelainan pada regulasi air dan elektrolit(udema dan hiprkalemia). Reaksi lain terjadi pada kulit dengan sindrom ruam dan rtikaria, bronchoconstriksi pada kasus asma, gangguan efek susunan syaraf pusat dengan gejala nyeri kepala, pusing, telinga berdengung (tinnitus), sukr tidr bahkan depresi dan gangguan penglihatan.

b.Zat Imunostimulator
Vaksin Bacillus calmette-Guerin (BCG)
Vaksin BCG terbuat dari basil tbc (sapi), dalam kondisi masih hidup namun tidak virulen. Vaksin ini termasuk imunostimulator spesifik dan non spesifik terhadap lepra dan tbc serta bekerja sebagai anti tumor. Zat ini banyak digunakan untuk kepentingan klinik pada daerah-daerah beresiko tinggi terhadap penyakit lepra dan tbc serta anti kanker terutama pada kangker kandung kemih secara intravesikal.

Interferon-alfa
Interferon-alfa 2,roferonA(2A), intron A(2b). Interferon-alfa, beta dan gamma adalah limfokin alamiah yang lazimnya dibentuk sebagai reaksi sebagai reaksi terhada infksi virus.
Interfern-alfa terdiri dari 165 asm amino yang diperoleh melalui teknik rekombinan-DNA dari kuman E. coli yang telah dimanipulasi secara genetis. Pada tipe 2a terdapat kelompok lysin pada posisi 23, sedangkan tipe 2b kelompok arginin. Penggunaannya selama 16-24 minggu.

Interferon gamma 1b
Interferon gamma 1b adalah derivat interferon yang mempunyai asam amino sebanyak 140, juga diperoleh dengan teknik DNA rekombinan. Zat ini dapat mengaktivasi fagosit mononuclear (makrofag/monosit) dengan membenk radikal oksigen dengan daya bakterisida. Khususnya dignakan sebagai obat pembantu untuk prevensi infeksi berat pada penyakit kronis tertentu dimana cytotoksisitas makrofag sangat terganggu.

Interleukin-2
Interleukin-2 (IL-2, aldesleukin, Proleukin) merupakan glikoprotein yang terbuat dari E.coli dengan teknik rekobinan DNA. Zat ini dapat menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas sel T, sel NK dan limfosit lainnya serta menginduksi produksi dan peleasan sitokin lain. Dengan demikian sistem imun diaktivasi dengan kuat dan sel tumor dapat dimusnahkan.

Levamisol
Levamisol (tetramisol,ascaridil dan ergamisol) merupaka zat yang dapt menstimulasi sistem imun seller, tetapi dapat pula mensupresi sistem imun, tergantung dosis yang digunakan. Zat ini dapat meningkatkan perbanyakan fagocytose dan chemotaxis makrofag. Berguna untuk terapi kaner segan sitostatika dan rednison.

Echinaforce
Echinaforce merupakan zat yang terbuat dari herba Echinacea purpurea, pallida dan angustifolia. Zat echinaforce dapat meningkatkan saktivitas makrofag dan limfo-T, serta memperlancar chemotaxis. Selain itu meningkatkan pelepasan interferon dan menghambat enzim hyaluronidase sehingga sel-sel disekitarnya sukar dtembs oleh virus. Echinaforce mengandung minyak atsiri, alkilamida, asam mino, asam lemak, vitamin C, fytosterol dn polisakarida. Ketiga zat terakhir yang bertanggung jawab sebagai imunostimulasinya. Efek samping zat ini masih dalam penelitian, tetapi zat ini disarankan untuk tidak digunakan pada penyakit tbc, MS dan SLE.

Benzokinon
Benzokinon adalah food supplement yang banyak dignakan dalam kalangan alternatif. Zat ini banyak ditemukan pda bakteri, tanaman dan hewan. Rumus bangunnya mirip vitamin K2. Ia brperan penting pada oksidasi pembakaran lukosida, lemak dan protein. Produksi energi ini berlngsung di mitochondria sebagai platelet dalam sel plasma. Oksidasi tersebut dikatalisa oleh zat ini dan enzim lainnya. Disamping itu zat ini bersifat antioksidan kuat dalam menangkap radikal bebas, juga memperkuat sistem imun dngan meningkatkan aktivitas bio-energi, stimulasi limfo-T, meningkatkan IgG da aktivitas makrofag. Kegunaannya, biasanya zat ini digunakan untuk memacu kerja jantung sehingga banyak digunakan bagi olahragawan/wati dan manula, serta penderita kanker.
Secara umum imostimulator mempunyai egfek samping sebagai berikut, yaitu myelosupresi, mucositis, rambut/bulu rontok, dlam jangka pajang dapat menyebabkan karsinogenik, nefrotoksis dan gonadotoksis.

Kesimpulan

Imunomodulator di desain sesuai fungsi dari imunitas tubuh. Mekanisme kerja imunomodulator bekerja dengan 2 cara yaitu menransng dan menekan sistem imun. Imunomodulator merupakan alternatif imunoterapi untuk mengatasi infeksi awal baik terhadap infeksi bakterial, virus dan bahkan kanker serta sebagai digitalis. Imunomodulator mengatasi pengenalan antigen oleh sel B, menghambat/mensimulasi proliferasi sel B, menghambat/mensimulasi diferensiasi /sintesis sel T, menghambat/mensimulasi interaksi atau komplemen terhadap antigen oleh sel T dan antigen terhadap jaringan.

DAFTAR PUSTAKA
.
A.G. Jhonson, 1999, Hight Yield Immunology, Medical Microbiology and Immunology, Universitas of Minesota, Philadelphia.
A. Rabson et all, 2005, Medical Imunology, Second Edition, Department of Immunology & Molecular Pathology, University College Medical School, London, UK
B.G. Katzung, 1995, Basic and Clinical Pharmacology, Third Edition, Universitas of California, Sa Francisco.
I.S. Rossoff, 1994, Handbook of Veterinary Drugs and Chemicals, Second Edition, Pharmatox Publishing Company, taylorville, Illinois, USA.
K.G. Bratawidjaja, 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ketujuh, Balai pnerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia T. Tjay dan K. Rahardja 2003, Obat-Obat Penting Khasiat, penggunaan dan Efek-efek Sampingnya, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta.
T.H. Tjay dan K. Raharja, 2003, Obat-Obat Penting, Edisi Kelima, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta

KAJIAN KASUS MKM IPB 09

ISOLASI DAN KARAKTERISASI STRAIN VIRUS INFECTIOUS BURSAL DIESEASE (IBD) DARI AYAM BROILER DI BANGLADESH

Abstrak
Lima puluh sampel bursa fabrisius dari ayam broiler di koleksi dari 3 peternakan ayam swasta yang berbeda dan Bangladesh Agriculture university (BAU). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi virus IBD. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu buln agustus sampai september 2002. Bursa fabrisius yang telah dikoleksi di simpan pada suhu -20⁰C selama proses isolasi virus chicken embryo fibroblast (CEF) pada kultur sel. Dari 50 sampel bursa fabrisius yang dikoleksi dari sel CEF, terdapat 40 sampel yang positif terhadap virus IBD. Masing-masing isolat virus IBD tersebut di karakterisasi dengan metode Agar Gel Immunodiffusion Test dengan menggunakan polyclonal sera spesifik. Isolat strain M6 virus IBD menyebabkan angka kematian 100% pada ayam umur 5 minggu yang diinjeksi secara intra muscular. Sebagai kesimpulan dari pelitian ini adalah adanya hubungan angka kematian ayam yang tinggi antara kejadian alami dan penelitian ini.
Pendahuluan
Kasus Infectious Bursal Disease atau juga dikenal dengan penyakit Gumboro pertama kali terjadi di peternakan-peternakan dekat dari Gumboro Delaware, USA (Cosgave, 1962). Gejalanya akut, menyerang anak ayam, penykit ini disebabkan oleh famili Birnaviridae (Calnek et al, 1997). Semua peternakan ayam di dunia, termasuk Bangladesh telah melaporkan penyakit tersebut. Walaupun IBD pernah mewabah pertama kali di Bangladesh pada tahun 1992, tetapi penyebab agen penyakit pertama kali di isolasi dan diidentifikasi oleh Chowdhury et al dan Rahman et al., (1996). Mc. Ferran et al., (1980) melaporkan bahwa ada 2 serotipe virus IBD tetapi hanya serotipe 1 yang patogen pada ayam. Serotipe 1 mempunyai 9 strain yang telah diklasifikasi oleh Brown dan Grieve (1992), walau sub tipe nya multiple tetapi standar serotipe 1 dapat dihubungkan dengan gejala klinis (Brown dan Grieve 1992). Kadang-kadang sifat molekuler dan antigenik dari isolat virus IBD Bangladesh mempunyai kesamaan dengan strain virulensi asal Eropa, Asia dan Afrika. Lebih jauh, jurnal ini menggambarkan tentang isolasi dan karakterisasi isolat virus IBD lokal.
MATERI DAN METODE
1. Koleksi Bursa Fabrisious
Lima puluh ayam broiler umur 2-5 minggu dikoleksi bursa fabriousnya secara aseptis selama bulan agustus sampai september 2002). Sampel bursa tersebut kemudian disimpan pada suhu -20⁰C sampai proses penelitian selesai.
2. Koleksi Suspensi bursa Fabrisious
Sampel bursa fabrisious dipotong kecil-kecil dan dihancurkan dengan menggunakan mortar dan pesttle. Buat suspensi 10% dengan cara menambahkan pelarut PBS dan homogenkan, kemudian centrifuge selama 15 menit 3000 rpm. Supernatan dikoleksi dan ditambahkan antibiotik (penicillin 10.000.000/ml dan streptomicin 10mg/ml. Inkubasikan pada temperatur ruangan selama 45 menit dan shake gently setiap 10 menit. Suspensi diinokulasikan pada media agar darah steril untuk mengetahui ada tidaknya kontaminasi bakteria. Media agar darah tersebut diinkubasikan pada suhu 37⁰C selama 24 jam. Bila suspensi tersebut steril dari kontaminasi bakteri maka suspensi digunakan sebagai inokulum untuk isolasi virus.
3. Cytopathic Effect (CEF)
CEF kultur sel disiapkan menggunakan embrio ayam umur 9-10 hari dengan menggunakan trypsonisasi hangat. Confluent monolayer CEF dtumbuhkan pada plat tissue kultur dalam 24 sumur yang digunakan untuk mengisolasi virus. Setelah 24 jam pembiakan, sel akan penuh confluent. Kemudian medium tumbuh dibuang dari sumur dengan menggunakan pipet. Setiap 0,05ml sampel diinokulasi ke dalam sel sheet pada sumur. Gunakan 2 sumur sebagai kontrol. Selanjutnya plat diinkubasikan pada suhu 37⁰C dalam inkubator (humidified) selama 1 jam supaya virus terserap. Tambahkan 1 ml maitenante mdium ke dalam setiap sumur dan plat dikembalikan ke inkubator. Sel dapat dilihat di bawah mikroskop setiap hari untuk mengetahui CPE. Pada hari ke-5 post infeksi, sel pada plat dibekukan pada -20⁰C. Dua atau lebih di pasage sebelum sampel dinyatakan negatif. Lakukan vigorous pepetting untuk mendapatkan hasil sesuai tujuan dari penelitian ini. Cairan tissue kultur dari 2 dinding diinokusi sampel di rendam. Inokulasi ulang pada 2 dinding tersebut untuk mendapatkan sel terbaru.
4. Panen Virus
Ketika manifestasi CPE telah maximum, cairan kultur jaringan di panen setelah 3 x siklus feezing, thowing dan vigorous pipetting. Pemanenan cairan kultur jaringan setelah di sentrifuge selama 20 menit pada 3000 rpm, kemudian cairan supernatan dikoleksi.
5. Agar Gel Immunodiffusion Test
Isolat virus dari 40 sampel lapangan yang positif diidentifikasi dengan metode AGIDT sebagai virus IBDV dengan menggunakan spesific polyclonal serum terhadap virus IBDV. Preparasi virus dibagi dalam 1 ml dalam vial-vial kemudian disimpa dalam suhu -20⁰C.
6. Determinasi Chick Infective Dose Fifty (CID50)
Ayam umur 50 hari di isolasi dalam kandang. Selama 32 hari, ayam dikelompokkan menjadi 10 kelompok dan masing-masing terdiri dari 5 ekor. Sembilan kelompok di injeksi secara intra muscular dengan menggunakan suspensi virus IBD (dari stock virus M6 IBDV). Suspensi virus tersebut dibuat dengan dosis berseri yaitu 10-1 sampai 10 -9. Maka ayam-ayam tersebut akan menunjukan gejala klinis dan kematian bila memungkinkan. Akhir dari penelitian diharapkan ada beberapa yang mati.


HASIL DAN DISKUSI
Empat puluh dari 50 sampel bursa fabrisious positif terhadap virus IBD pada CEF sel kultur namun 10 dri 50 sampel yang ada adala negatif. Isolasi virus IBDV pada penelitian ini menggunakan CEF sel kultur dan embrio ayam berbeda nyata dengan isolat virus IBD oleh Lusio et al. (1971) dan Jayaramaiah dan Malick (1974). Pada penelitian mereka, isolat virus IBD dari sampel lapangan dengan mudah ditemukan pada embrio ayam. Kegagalan pertumbuhan dan propagasi virus IBD asal lapangan pada embrio ayam mungkin disebabkan oleh adanya faktor maternal antibodi dalam embrio ayam. Keberhasilan dalam mengisolasi virus IBD asal sampel lapangan pada penelitian ini dengan menggunakan CEF sel kultur terekomendasi oleh El-bieriary et al (1997) dan kumal et al. (2000). Pada penelitian mereka, mereka telah menemukan isolat virus IBD asal sampel lapangan pada CEF sel kultur lebih baik dibanding indikator host system lainnya. Isolat virus dari 40 sampel lapangan yang positif diidentifikasi dengan metode AGIDT yang menggunakan spesific polyclonal serum terhadap virus IBD asal kelinci sebagai virus IBD. Hasil penelitian ini direkomendasikan oleh El Zein et al., (1974). Dalam penelitiannya, mereka dapat mengidentifikasi virus IBD asal lapangan dengan AGIDT yang diinkubasikan selama 48 sampai 72 jam dengan menggunakan spesific polyclonal serum terhadap virus IBD. Isolat strain M6 virus IBD di uji dengan CID50 yaitu dengan menggunakan 9 larutan virus berseri (10-1 sampai 10 -9) pada ayam dan hasilnya menunjukkan bahwa pada10-4 CID50/dose yang terisolasi.

KAJIAN KASUS MKM IPB 2009

DINAMIKA PERUBAHAN  MORFOLOGI Cryptococcus neovormans SELAMA INFEKSI PADA PARU-PARU hewan percobaan
Abstrak
Patogenesa infeksi Cryptococcus neoformans telah diteliti secara ekstensif sehubungan dengan inflamasi dan perubahan patologi, tetapi informasi yang ada tentang morfologi sel yeast selama perjalanan infeksi sangat sedikit. Paru-paru murin yang terinfeksi Cryptococcus neoformans secara mikroskopik elektron telah menunjukkan  bahwa ketebalan dinding sel meningkat seiring waktu infeksi, tetapi perbedaan ini hanya sebagian yang dicatat dengan peningkatan diameter sel. Dua jam post infeksi, dinding sel yang bermelanin lebih tebal daripada sel yang tanpa melanin, dan dinding sel yeast menjadi gelap seiring waktu, hal ini akibat konstribusi melanin yang dapat menebalkan dinding sel. Sejumlah sel yang heterogen muncul, dengan menunjukkan adanya bentuk pembesaran dinding sel tersebut. Sedangkan ukuran penebalan sel C. neoformans strain ATCC 24067 (Serotipe D) teramati penuh, untuk sel C. neoformans strain H99 (Serotipe A) dan 3.501 (serotipe D) dibagi menjadi dua populasi yaitu bentuk pembesaran dinding sel dan bentuk mikro. Berbeda dengan heterogenitas selular, epitope yang diproteksi oleh mAb protektif pada kapsul glucuronoxylomannan (GXM) ditemukan di setiap saat infeksi. Mikroskop Imunoelektron dengan menggunakan mAb untuk mendeteksi GXM memperlihatkan reaktivitas dengan struktur intraseluler, dimana minimal sebagian sintesis polisakarida kapsuler terjadi dalam sitoplasma. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (i) Dinamika infeksi yang baik untuk morfologi sel yeast; (ii) Pembesaran dinding sel muncul di jaringan selama infeksi; (iii) Dinding sel menghitam dan menebal selama infeksi, sehubungan dengan sintesis melanin selama infeksi dan (iv) Epitop GXM ditemukan dalam kapsul, dinding sel dan sitoplasma, konsisten dengan sintesis polisakarida secara intraselular. Sejumlah sel  C. neoformans  dalam jaringan dalam keadaan yang sangat dinamis, dimana sistem kekebalan tubuh harus menghadapi sel-sel dengan berbagai karakteristik selama infeksi.

Pendahuluan
Cryptococcus neoforman adalah agen penyebab Cryptococcocis, infeksi cendawan ini mengancam jiwa manusia (Review oleh Mitchell & Sempurna, 1995). Cryptococcocis merupakan penyakit komplikasi yang relatif sering dengan HIV pada tahap akhir infeksi (Currie & Casadevall, 1994) dan berhubungan dengan keadaan imunosupresif lainnya, seperti haematologic malignancies, collagen vascuar diseases dan terapi steroid. Infeksi C. neoformans melalui per inhalasi (Levitz, 1991). Pada penderita imunokompeten, infeksi sering tanpa gejala dan terbatas pada paru-paru. Namun, pada pasien dengan gangguan imunitas, penyebaran ekstrapulmoner ke sistem saraf pusat dapat terjadi dan dapat menyebabkan meningoencephalitis. Cryptococcocis  tidak dapat disembuhkan pada pasien AIDS karena terapi yang ada tidak memberantas infeksi dalam penekanan kasus imunosupresif (et Zuger al., 1986).
 Infeksi C. neoformans bersifat kronis pada manusia dan hewan percobaan. Kemampuan C. neoformans untuk bertahan dalam jaringan dan kekebalan penderita belum diketahui dengan pasti. Ada bukti yang cukup kuat bahwa ketidakmampuan penderita  untuk mengeliminasi hasil infeksi dari gangguan dengan mekanisme pertahanan penderita pada polisakarida kapsuler, yang dapat ditemukan dalam jumlah berlebihan di jaringan (Casadevall & Perfect, 1998). Namun, kemungkinan bahwa populasi C. neoformans di jaringan penderita mengalami perubahan yang berhubungan dengan ketidakmampuan respon imun penderita untuk mengeliminasi infeksi. Untuk patogen lainnya, variasi antigenik adalah mekanisme penting untuk menghindari serangan pertahanan penderita. Baru-baru ini, C. neoformans telah terbukti mampu mengalami perubahan morfologi seluler melalui perubahan fenotipe secara  in vitro maupun in vivo (Goldman et al., 1998). Untuk sel C. neoformans, beberapa ultrastruktural penelitian telah memberikan informasi yang sangat rinci tentang struktur sel, dinding sel dan kapsul (Al-Doory, 1971; Cassone et al., 1974; Mochizuki et al, 1987.; Sakaguchi et al., 1993). Dari analisa sampel segar, peningkatan ketebalan dinding sel, ukuran sel, ukuran kapsul dan aktivitas sekretori vakuola telah dicatat dalam perbandingan yeast secara in vivo dan in vitro (Sakaguchi et al., 1993; Takeo et al, 1973.). Namun, informasi  relatif sedikit dari ultrastruktur  sel C. neoformans selama infeksi jaringan, atau pada sintesis dari polisakarida kapsuler.
Feldmesser et al. (2000a)  meneliti  ultrastruktural tentang patologi dan respon penderita terhadap infeksi Cryptococcus pada paru-paru  murin. Penelitian ini memfokuskan pada identifikasi lokasi replikasi C.neoformans dalam jaringan dan menetapkan bahwa yeast ini adalah patogen intraselular fakultatif yang menginfeksi paru-paru murin. Selama penyelesaian penelitian  itu, Feldmesser et al. (2000a)   mencatat perbedaan  waktu morfologi sel C. neoformans di paru-paru mencit yang terinfeksi. Ketersediaan bagian jaringan dari berbagai tahap infeksi memungkinkan morfologi sel yeast berubah selama infeksi. Perubahan morfologi sel yeast yang terkait dengan infeksi kronis. Analisis perubahan selama infeksi dengan menggunakan mikroskop cahaya pada ukuran sel, ketebalan dinding sel dan penampilan dinding sel. Selanjutnya, dengan mikroskop immunoelectron menggunakan mAbs yang mengikat glucuronoxylomannan (GXM), komponen utama dari polisakarida kapsuler menunjukkan perbedaan pola-pola intraselular yang mengikat pada strain serotipe D dan memberikan informasi tentang sintesis polisakarida. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa morfologi sel-sel yeast bervariasi selama infeksi, sehingga terjadi
perubahan dinamis yang dapat memberikan informasi sehubungan dengan kemampuan
organisme ini untuk bertahan dalam jaringan.

METODE
C. neoformans
Strain ATCC 24067 (serotipe D) sering digunakan untuk  percobaan karena telah digunakan dalam penelitian sebelumnya tentang patologi paru-paru (Feldmesser et al., 1998; Feldmesser &  Casadevall, 1997). Terbatas pada percobaan yang dilakukan dengan menggunakan  strain acapsular Cap 67, derivat dari  strain  3.501 (serotipe D) (Jacobson & Tingler, 1994) dan H99 (serotipe A), tipe strain untuk C. neoformans var. grubii (Franzot et al., 1999).  Isolat disimpan  pada 80 C. Kultur  dimulai dengan inokulasi pada Sabouraud  dexstrosa broth (Difco) dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30°C dengan cara dihomogenkan. Satu percobaan untuk melihat melanin yeast secara in vitro, C. neoformans ditumbuhkan pada medium  (15 mM glukosa, 10 mM MgSO%, 13 mM glycine, 3.0 µM vitamin B1, pH 5,5) dengan atau tanpa 1. mM L-dopa (Sigma) pada suhu 30°C selama 13 hari. Kultur dicuci 3x dalam phosphate-buffered saline steril, dihitung dengan menggunakan haemocytometer, dan penghitungan dikonfirmasi dengan kultur pada Sabouraud dexstrosa agar. Satu kultur pertumbuhan yeast dan dipersiapkan dengan cara mencampur Trump's fixation (paraformaldehyde 4% dan 1% glutaraldehid dalam 0,1 M buffer fosfat) dan siap untuk EM, seperti yang dijelaskan di bawah ini.

Infeksi pada Murin
Mencit SPF C57BL/6, BALB/c dan A/JCR diperoleh dari National Cancer Institute (Bethesda, MD, USA); mencit 129/SvEv  diperoleh dari Taconic Farms (Germantown, NY, USA). Pada  masing-masing percobaan, mencit berjenis kelamin yang sama. Mencit berumur 6 sampai 10  minggu di anastesi dengan 65 mg natrium pentobarbital kg-1 dan diinokulasi secara intratracheal dengan dosis 104  atau 108 sel  dalam 0,05 ml PBS steril (dosis yang digunakan adalah dosis rendah104  dan dosis tinggi 108 sel  dalam 0,05 ml PBS steril) (Feldmesser & Casadevall, 1997). Inokulum tertinggi digunakan untuk eksperimen pada mencit yang dibunuh sebelum 24 jam post infeksi untuk memfasilitasi visualisasi sel yeast dalam jaringan oleh EM. Semakin rendah inokulum digunakan untuk eksperimen di mana mencit mati dalam 24 jam atau lebih post infeksi. Dalam percobaan berikut,  strain mencit menindikasikan dalam kurung waktu terinfeksi bersamaan dengan strain 24067, kecuali di tempat yang ditentukan, dan mati: (i) 5 menit atau 2 jam setelah infeksi (BALB/c); (ii) 24 jam, 48 jam, 7 hari atau 28 hari setelah infeksi (C57BL/6); infeksi (iii) 13 hari setelah dengan 101 atau 106  sel yeast (129/SvEv); (iv) 14 hari setelah infeksi (A/JCR), (v) 14 hari setelah infeksi (C57/BL6); (vi) 24 jam setelah infeksi strain 24.067, Cap 67 atau 3501 (C57/BL6); (vii) 14 hari setelah infeksi dengan strain 3.501 (C57/BL6); (viii) 2 jam atau 14 hari setelah infeksi dengan H99 strain (C57/BL6), dan (ix) 2 jam setelah infeksi dengan strain 24.067 ditumbuhkan dalam medium minimal dengan atau tanpa L-dopa (C57/BL6). Dalam setiap percobaan, dua mencit dipelajari untuk setiap kelompok. Secara keseluruhan, penelitian ini meliputi data dari 36 mencit. Pada saat yang ditunjukkan dalam eksperimen individu, mencit dietanasi secara dislokasi leher. Paru-parunya dipisahkan dan dicuci dengan Trump’ fixative  untuk EM.
Mikroskop
Untuk EM, jaringan blok dan sel setelah difixasi dengan 1% osmium selama 1 jam, didehidrasi dalam ascending ethanol (30 - 100%), dicuci 2x dengan acetonitrile,  kemudian diinfiltrasi dan disimpan dalam araldite-Epon (Feldmesser et al., (1997). Setelah dilihat pada mikroskopis cahaya bagian terwarnai  1 µm toluidin-blue, bagian ultrathin diwarnai dengan uranyl acetat dan lead cytrat dan di periksa dengan mikroskop elektron JEOL 100S atau 100 CX. Minimal ada 5 yang tidak  terkontanminasi pada masing-masing kelompok mencit dan data dikumpulkan untuk dianalisa. Setidaknya 22% dari pengukuran  sel yeast berasal dari masing-masing mencit, kecuali determinasi selama 13-14 hari, dimana 7 - 37% dari nilai-nilai berasal dari masing-masing empat percobaan. Pengukuran dinding sel terbatas pada sel-sel yeast bagian dekat tengah, seperti ditunjukkan oleh tepi dinding sel. Untuk lokalisasi Cryptococcus intraselular, polisakarida kapsuler menggunakan immunogold, imunohistokimia dengan menggunakan 2H1 mAbs (IgG1), 12A1 (IgM) atau 13F1 (IgM), mAbs murin yang mengikat GXM komponen polisakarida, seperti dijelaskan oleh Casadevall et al. (1998) dan Feldmesser et al. (2000b). Bagian Ultrathin jaringan paru-paru diinkubasi pada 10% H2O selama 10 menit, dicuci dengan PBS, kemudian disaturasi dalam larutan jenuh natrium periodate selama 10 menit, dicuci dengan PBS dan diblokir dengan 2% goat serum selama 1 jam. Jaringan diinkubasi semalam dalam 5 µg primer mAb ml-1 dalam goat serum 2% pada suhu 4 °C. Sebagai kontrol, jaringan diinkubasi di IgG1 murin (Sigma) atau PC-140,  IgM mAb yang mengikat phosphorylcholine (IgM) (Thammana & Scharff, 1983). Jaringan yang sudah dicuci PBS dengan goat serum 2% dengan 0-1% gelatin (60 Bloom unit) dan 0-0,1% Tween 20 dan kemudian diinkubasi di biotin-conjugated goat anti-mouse IgG1 atau IgM (2,5 µgml-1) (Southern Biotechnology Assosiation) selama 1 jam. Setelah dicuci, jaringan diinkubasi pada 10 nm gold-terkonjugasi untuk streptavidin (Goldmark biologi) pencairan dengan perbandingan 1:30 dalam 1% bovine serum albumin selama 2 jam pada suhu kamar, dicuci dan difixasi dengan 2% glutaraldehyde. Ketika perbandingan dibuat antara strain C. neoformans atau selama pelabelan dari strain yang sama dengan mAbs yang berbeda, sampel immunolabelling dilakukan secara bersamaan. Semua sampel dilakukan pelabelan minimal dua kali. Analisis data dilakukan dengan menggunakan spreadsheet Excel paket perangkat lunak. Setelah di analisa variansnya, perbandingan data berpasangan maka  analisa dilakukan dengan menggunakan metode t-test dengan alpha  disesuaikan dengan tingkat koreksi Bonferonni.

HASIL
Diameter sel yeast, ketebalan dinding sel, kapsul volume dan volume sel diukur pada 5 menit, 2 jam, 24 jam, 48 jam, 7 hari, 14 hari dan 28 hari post infeksi (Tabel 1 dan Tabel 2).  Pengukuran terhadap  ketebalan dinding sel melanin C. neoformans juga dilakukan dengan menginfeksikan ke dalam paru-paru murin pada 2 jam dan sel C. neoformans dipersiapkan sebagai penginfeksi inokulum (Tabel 1). Dari data berpasangan menunjukkan tidak adanya perbedaan dalam value yang diperoleh dari mencit pada eksperimen individu, kecuali pada penelitian mencit 28 hari post infeksi (data tidak ditampilkan). Ketebalan dan diameter (tidak termasuk kapsul) dinding sel yeast disiapkan sebagai inokulum untuk menginfeksi adalah lebih kecil daripada sel yeast 5 menit post infeksi. Diameter sel yeast yang sama pada 5 menit dan 2 jam post infeksi menunjukkan bahwa sebagian besar sel-sel yeast di paru-paru berasal dari inokulum penginfeksi. Rasio sel ketebalan dinding dan diameter sel lebih rendah pada infeksi inokulum pada 5 menit, perbedaan ketebalan dinding sel tidak hanya pada fungsi ukuran sel yeast. Setelah 2 jam, mean dan median ketebalan dinding sel C. neoformans meningkat dengan umur pengukuran infeksi sampai 28 hari. 
Minimal sebagian peningkatan dalam  ketebalan dinding sel kembali mempengaruhi  peningkatan ukuran dari diameter sel yeast, seperti dinding sel ketebalan bervariasi secara langsung dengan diameter sel yeast (Gbr. 1).  Namun, untuk memperhitungkan kemungkinan peningkatan proporsional dengan ketebalan dinding sel dalam kaitannya dengan ukuran sel, diameter dinding sel juga dibagi dengan diameter sel. Hal ini karena rasio meningkat dari 2 jam hingga 28 hari, dan meningkat lebih tinggi secara signifikan dari value 2 jam setiap saat dari 48 jam dan seterusnya. Dengan demikian, berarti ketebalan dinding sel dari C. neoformans meningkat sehubungan dengan waktu infeksi dan bukan hanya hasil dari ukuran sel meningkat. Data tersebut untuk 13 - 14 hari infeksi  pada Tabel 1 adalah dikumpulkan dari empat percobaan dengan menggunakan tiga strain mencit. Tidak ada perbedaan value yang diperoleh dari dua percobaan yang digunakan mencit C57/BL6, atau antara mencit A/JCR dan 129/SvEv yang terinfeksi dengan dosis sel 101 atau yeast 106.  Namun,  rasio ketebalan dinding sel yeast dan ketebalan dinding diameter sel yeast lebih tinggi pada C57/BL6  dari pada A/JCR dan 129/SvEv (data tidak ditampilkan).


Namun, perbandingan data dari masing-masing individu pada percobaan dari 2 jam setelah infeksi menunjukkan ketebalan dinding sel meningkat secara signifikan. Sejak sel melanin C. neoformans dilaporkan selama infeksi murine (Nosanchuk et al., 1999), hipotesis bahwa peningkatan ketebalan dinding sel mungkin terkait dengan melanisasi. Untuk mengevaluasi kemungkinan ini, sel melanin diperoleh dengan cara menumbuhkan C. neoformans pada medium minimal dengan l-dopa diinokulasi pada paru-paru dan ketebalan dinding sel diukur. Ketebalan dinding sel melanin dalam jaringan paru-paru 2 jam post inokulasi intratracheal  secara signifikan lebih besar dari sel yang tumbuh dalam medium minimal tanpa l-dopa. Untuk memperoleh bukti tambahan untuk melanin dalam jaringan sebagai penjelasan untuk ketebalan dinding sel, dilakukan evaluasi dengan menggunakan mikroskop cahaya tanpa pewarnaan terhadap dinding sel selama mengalami perubahan warna dalam jaringan. Dengan meningkatkan waktu post infeksi dengan sel non melanin, sel dinding Cryptococcosis menjadi semakin hitam (Gbr. 2).
Selain perubahan ketebalan dinding sel, pencatatan juga dilakukan terhadap  munculnya populasi sel heterogen selama infeksi. Pengamatan yang mencolok adalah munculnya pembesaran dinding sel  C. neoformans  di  jaringan paru-paru yang terinfeksi 24 jam post infeksi (Gbr. 3). Sel berkisar hingga 28 µm diameter. Pembesaran dinding sel C. neoformans ditemukan hampir secara eksklusif di ruang ekstraselular. Pada setiap saat 2 jam post infeksi, ada rentang yang luas dalam diameter sel yeast  yang mewakili kesempurnaan ukuran antara bentuk terkecil dan bentuk pembesaran dinding sel. Demikian pula, peningkatan berbagai ukuran dan varians antara sel-sel yang ditemukan di total volume dan volume kapsul yeast (Tabel 2). Semua waktu infeksi, ada dimensi kapsul sel C. neoformans yang berhubungan dengan pengukuran pada 5 menit dan 2 jam. Sebaliknya, pemeriksaan sel disiapkan sebagai inokulum penginfeksi menunjukkan bahwa dari 317 yeast diperiksa dengan hasil magnifikasi rendah  x 7500, tidak ada yeast  memiliki diameter sel > 3.3 µm (rentang: 1.1 -3.3 µm). Dengan demikian, munculnya pembesaran dinding sel yang berukuran heterogenitas dari inokulum infeksi. Pengamatan ini menunjukkan bahwa infeksi C. neoformans pada paru-paru mencit dikaitkan dengan munculnya heterogenitas populasi sel yeast yang luar biasa untuk berbagai ukuran sel dan kapsul. 
Untuk menentukan apakah pengamatan yang dilakukan dengan strain 24067 itu berlaku bagi serotipe A strain, mencit terinfeksi dengan strain H99 dan bagian paru-paru dipelajari 2 jam dan 14 hari setelah infeksi. Untuk strain H99, mean
ketebalan dinding sel selama infeksi meningkat tidak signifikan (berarti ketebalan dinding sel 2 jam adalah 0 ,20  ± 0,04 vs 0,31  ± 0,3 µm untuk  14 hari;  P=0,269; n=12 untuk 2 hari, n= 48 untuk 14 hari. Namun, tidak seperti strain 24067,
yang diproduksi sel yeast mewakili kelangsungan ukuran sel antara bentuk-bentuk yang lebih kecil dan yang mengalami pembesaran dinding selnya , untuk strain H99 dan strain serotipe D kedua (3501), lebih dua populasi  menurun secara draktis yang dapat dibagi menjadi dua kelompok bentuk sel yang mengalami pembesaran dinding selnya  dan bentuk mikro. Pemeriksaan dengan pewarnaan 1 µm toluidine-blue menunjukkan bahwa pada 14 hari post infeksi, persentase rata-rata yeast yang bentuk-bentuk giant adalah 69,7± 20,3% dan 70,5±27,4% untuk masing-masing strain H99 dan strain 3501 (untuk H99, 20 kali pemanenan yang dihitung dengan magnifikansi x200; untuk strain 3501 dilakukan penghitungan pemanenan sebanyak 13 kali). Karena ketebalan dinding sel dari strain  H99 dalam bentuk mikro banyak terlihat pada 2 jam, berarti ketebalan dinding sel tidak berbeda secara signifikan pada pengukuran dari dua populasi.
Ketersediaan bagian jaringan dari perbedaan waktu infeksi memungkinkan penyelidikan apakah itu epitope dikenali oleh antibodi pelindung selama infeksi. Penandaan sel-sel dari jaringan yang diperoleh dari mencit yang terinfeksi dari 2 jam hingga 28 hari menunjukkan kehadiran gold partikel di tiga lokasi. Tanpa diduga, penelitian ini juga memberikan informasi tentang sintesis kapsul, karena muncul dalam  beberapa yeast, selain itu ditemukan dalam struktur kapsul dengan pewarnaan immunogold intraselular. Untuk mempelajari lokasi sintesis kapsul, pelabelan immunogold dengan 2H1 mAb dilakukan pada jaringan paru-paru yang diperoleh dari mencit terinfeksi dengan strain 24067 selama 2 jam hingga 28 hari. IEM menunjukkan adanya epitope tidak hanya dalam kapsul, tetapi juga di dinding sel Cryptococcus  dan sitoplasma (Gbr. 4), di mana tampak lokal terutama untuk struktur vacuolar membran-bound. Untuk jaringan yang diperoleh dari mencit yang terinfeksi selama 48 jam, sama dengan pola pelabelan yang terlihat ketika mAbs IgM 12A dan 13F1 digunakan. Untuk strain 3501, pelabelan jaringan dari tikus yang terinfeksi selama 24 jam dengan menghasilkan 13F1 mAb memproduksi pola dan intensitas sebanding dengan label yang terlihat pada strain 24067 (Gbr. 5). Namun, mAbs 2H1 dan 12A1 berlabel baik bagian kapsul dan intraseluler strain 3501 kurang intensif dibandingkan strain 24067. Untuk menentukan apakah epitope itu ada pada sel acapsular, pelabelan immunogold adalah Cap 67 dilakukan. Untuk Cap 67, hanya sesekali ada gold partikel   ketika mAbs 2H1 atau 12A1, yang mengikat epitope yang sama, digunakan. Namun, untuk 13F1 mAb, gold label ada di dinding sel. Sangat jarang gold partikel   pada bagian-bagian dari ketiga strain berlabel dengan kontrol atau IgG-140 PC Abs, atau pada bagian normal paru-paru dari mencit yang terinfeksi pada 5 menit yang diberi label dengan mAb 13F1, menunjukkan pelabelan yang spesifik.
 
DISKUSI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan apakah karakteristik sel yeast berubah selama infeksi C. neoformans pada paru-paru murin dan mengidentifikasi karakteristik sel yeast tentang mekanisme  C. neoformans yang dapat menyebabkan infeksi kronis yang di akhiri dengan kematian pada mencit. Hasil penelitian menunjukkan proses yang sangat dinamis dimana terjadi perubahan besar pada sel C. neoformans selama infeksi pada murin eksperimental. Perubahan morfologi berpotensi relevan dengan patogenesa Cryprococcus secara in vivo, bentuk selular baru muncul dari seleksi dan atau perubahan di stimulasi oleh pertumbuhan kondisi jaringan. Varian generasi  baru yang berbeda telah hadir pada sel efektor kekebalan penderita mungkin akan menyebabkan infeksi persisten.
Penebalan dinding sel terjadi di awal perjalanan infeksi dan dipertahankan selama infeksi kronis. Sakaguchi et al. (1993) melaporkan bahwa dinding sel C. neoformans dalam jaringan yang lebih tebal daripada sel yang tumbuh secara in vitro. Namun, peningkatan normalisasi ketebalan dinding sel dipertahankan selama perubahan diameter sel, demikian menunjukkan suatu penebalan secara progresif dinding sel selama infeksi. Hipotesa dari penelitian ini adalah mekanisme peningkatan ketebalan dinding sel oleh melanisasi secara in vivo dimana sel C. neoformans mensintesis melanin selama infeksi (Nosanchuk et al., 1999). Untuk mengevaluasi kemungkinan ini dilakukan perbandingan ketebalan dinding sel melanin dan sel non melanin. Sel C. neoformans tumbuh  di media l-dopa dengan dinding sel tumbuh lebih tebal dari pada sel nonmelanin, hal ini disebabkan oleh peningkatan ketebalan dinding sel akibat proses melanisasi. Ditemukan bahwa  proses melanisasi dari sel C. neoformans secara in vivo adalah progresif dan peningkatan ketebalan dinding sel diamati pada penelitian ini dalam beberapa hari. Analisa secara mikroskopis cahaya terlihat bagian jaringan yang tidak terwarnai yaitu dinding sel Cryptococcus menjadi semakin gelap selama infeksi, ditemukan adanya tanda pembentukan melanin. Meskipun melanin dalam dinding sel Cryptococcus mungkin bersifat amorf (Nosanchuk et al., 1999), adanya tambahan bahan ini dapat menyebabkan peningkatan ketebalan dinding sel. Dinding sel yang mengalami melanisasi dapat melindungi sel yeast dari zat antimikroba penderita (Wang & Casadevall, 1994).

Dalam mengevaluasi ketebalan dinding sel, sumber kesalahan yang dapat berdampak pada pengukuran. Pertama, sumber kesalahan dari hasil pengukuran gambar sel yang kurang bulat, sebagai pengukuran ketebalan dinding sel pada sel dekat sasaran akan menghasilkan nilai lebih besar dari pengukuran sel dekat garis tengah. Oleh karena itu, pengukuran dinding sel dilakukan hanya pada yang muncul jelas/tajam dan memiliki ketebalan relatif konstan pada seluruh selnya. Hindari sel yang bagian tepinya kabur dan dengan berbagai ketebalan. Sumber kesalahan ini berasal dari rata-rata ukuran dan bentuk dari suatu populasi sel yang tidak terdistribusi normal. Untuk strain 24067, ukuran sel muncul secara terus-menerus, sedangkan untuk H99, ada yang jelas dua populasi sel yang berbeda tajam dalam ukuran. Untuk H99, rata-rata dinding sel dari semua sel tidak menghasilkan peningkatan ukuran karena varians meningkat dipengaruhi oleh ukuran pembesaran dinding sel. Sumber kesalahan ketiga adalah oleh fiksasi, pewarnaan dan pengolahan jaringan.dinding sel berubah ketika perbandingan sel dalam kultur jaringan 5 menit post infeksi. Rasio ketebalan dinding sel untuk diameter sel dalam inokulum menginfeksi adalah sama dengan pada 2 jam, mungkin perbedaan reflek osmotik diantara kondisi kultur dan paru-paru, atau awal perubahan yang cepat dalam yeast sebagai respon terhadap infeksi. Atau, perbedaan ketebalan dinding sel dicatat antar sel tercampur dari kultur in vitro dan dari jaringan 5 menit post infeksi mungkin membaik pada struktur dinding sel dalam jaringan paru-paru dengan cara serupa dengan yang terlihat untuk bentuk kapsul (Feldmesser et al., 2000b). Terlepas dari penjelasan, perbedaan ketebalan dinding sel antara sel-sel yeast in vitro dan dalam jaringan diperoleh 5 menit post infeksi tidak mempengaruhi kesimpulan dari penelitian ini karena relevan semua perbandingan pengukuran terlibat sel dalam jaringan. Selain itu, semua sampel diproses dalam bentuk identik dan setiap kesalahan dengan metode persiapan sampel harus berlaku untuk semua kelompok yang dibandingkan. Ada sedikit variabilitas dalam pengukuran yang dibuat antara mencit pada individu percobaan, dengan pengecualian mencit C57BL/6 pada 28  hari post infeksi, waktu di mana mencit tersebut telah mengembangkan respon kekebalan granulomatosa. Penemuan  variabilitas terlambat, tapi tidak lebih awal, mungkin reflek individu berbeda setelah infeksi dalam mengendalikan organisme tersebut. Selanjutnya, dalam jaringan yang diperoleh 2 jam post infeksi, tidak ada perbedaan dalam pengukuran sel yeast yang dibuat pada mencit C57/BL6 atau BALB/c. Namun, suatu perbedaan dilihat pada bagian yang diperoleh dari strain yang berbeda pada mencit  pada 13 hari atau 14 hari post infeksi. Karena kedua A/ JCR dan 129/SvEv lebih rentan terhadap  infeksi Cryptococcus paru-paru daripada mencit observasi C57BL/6 (Feldmesser et al., 1998), replikasi strain yeast pada mencit relatif muda dimana dinding sel yeast lebih tipis. Namun, korelasi dinding sel dengan respon inflamasi penderita memerlukan penyelidikan lebih. Strain 24067, ukuran dinding sel meningkat selama infeksi tetapi secara umum pengamatan ini untuk strain Cryptococcus ini tidak diketahui.
Morfologi sel C. neoformans pada jaringan terinfeksi lebih heterogen daripada ketika tumbuh in vitro. Heterogenitas morfologi sel C. neoformans baik ukuran kapsul dan ukuran sel yeast. Munculnya pembesaran dinding sel mecolok dalam observasi. Sel-sel terutama yang ditemukan di ekstraselular, jauh lebih besar dari makrofag jaringan. Sebaliknya, sel-sel dengan kapsul yang lebih kecil biasanya ditemukan di dalam vakuola makrofag. Diduga, munculnya pembesaran dinding sel menimbulkan masalah berat bagi sel fagositik. Pembesaran dinding sel Cryptococcus telah dilaporkan dari dua kasus penyakit manusia, yang terisolasi dari paru-paru dan dari cairan  cerebrospinal lainnya (Cruickshank et al., 1973; Love et al, 1985.). Laporan histopatologi pada kasus infeksi primer paru-paru pada manusia tersebut jarang menunjukkan gejala. Namun, yang seperti telah diuraikan bahwa bentuk-bentuk pembesaran dinding sel memiliki relevansi dengan patogenesis penyakit manusia. Mekanisme keragaman  morfologi selular tidak diketahui, tapi mungkin melibatkan perubahan fenotipik, perbedaan fase pertumbuhan, dan atau perbedaan nutrisi antar in vivo dan dalam kondisi in vitro (Goldman et al., 1998). Pola heterogenitas dalam ukuran sel yeast bervariasi antara strain C. neoformans. Meskipun ukuran kapsul meningkat secara signfikan selama infeksi, tidak semua sel menunjukkan kapsul yang lebih besar dan populasi sel dengan kapsul besar dan kecil hidup berdampingan dalam jaringan. Heterogenitas terjadi pada awal program infeksi dan terus menerus dipelajari. Munculnya  bentuk pembesaran dinding sel  dan heterogenitas ukuran sel menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh harus menghadapi sel-sel dengan berbagai karakteristik selama infeksi. Variasi ini dapat memberikan kontribusi kepada kesulitan dalam mengendalikan infeksi ini.
Mengingat penelitian ini untuk pengembangan terapi antibodi untuk Cryptococcus manusia dan variabilitas yang melekat dalam sel-sel C. neoformans dari mencit yang terinfeksi kronis, evaluasi terhadap epitope apakah dikenali oleh  2H1 mAb pada semua tahap infeksi. mAb 2H1 berikatan pada kapsul sel yeast  saat infeksi, yang menyebabkan bahwa heterogenitas sel yeast kehilangan epitope yang tidak konsekuen. Selama penelitian ini, beberapa pewarnaan antibodi terjadi intraseluler. Karena sangat sedikit yang diketahui tentang lokasi sintesis kapsul dalam C. neoformans (Doering, 2000), maka penelitian ini tentang lokasi reaktif epitope mAb dalam sel yeast. Meskipun penelitian sebelumnya  freeze-etching yang konvensional (Takeo et al., 1973) dan metode cepat freeze-deep etching (Sakaguchi et al., 1993) telah menyarankan bahwa prekursor yang disintesis dalam vakuola sitoplasma atau partikel lapisan dinding sel diakumulasi, tidak ada hubungannya antara sintesis kapsul dengan sel dinding. Dalam penelitian ini ini, label immunogold dengan mAb untuk GXM menunjukkan kehadiran epitope tidak hanya pada kapsul, tapi juga di dinding sel Cryptococcus dan sitoplasma, di mana tampak lokal terutama untuk struktur vacuolar membran-bound. Komponen kapsul berisi epitope yang dikenali  oleh  mAb 2H1 mungkin disintesis secara intraselular dan diekspor melalui dinding sel, mungkin dalam vesikula kecil (Sakaguchi et al., (1993). Selanjutnya penemuan identifikasi vakuolar Cryptococcus. Hasil ini memberikan bukti bahwa sintesis kapsul terjadi, minimal di bagian intraselular.
Di antara dua jenis serotipe D (24.067 dan 3501) meneliti ikatan mAb, pencatatan perbedaan kualitatif dan kuantitatif pada pola pengikatan antibodi. Perbedaan struktur GXM antar strain. Penelitian sebelumnya  tentang sel-sel yeast in vitro telah menunjukkan perbedaan signifikan antara polisakarida kapsuler dan suatu serotipe (Kecil et al., 1986) dan heterogenitas dalam serotipe pada  epitop reaktif dengan mAbs (Spiropulu et al., 1989). Struktur GXM ini sangat bervariasi antara strain-strain yang ada dan bahkan individu dapat menghasilkan berbeda jenis GXM tergantung pada fenotipe (Fries et al., 1999).
Pada penelitian ini telah ditemukan dinding sel berlabel Cap 67 dengan 13F1 mAb, meskipun bukan mAbs 2H1 atau 12A1. Ketiga mAbs dihasilkan dari limpa dari GXM tetanus toksoid immunized mouse. mAbs 13F1 12A1 dan berasal dari klon sel B (Mukherjee et al., 1993), tetapi berbeda spesifisitasnya, pola interaksi pada sel yeast dan pelindung efficacy (Mukherjee et al., 1993, 1995). Meskipun mekanisme dan gen yang terlibat dalam sintesis kapsuler untuk beberapa penelitian (Chang et al., 1996; Doering, 1999), dasar molekuler adanya kapsul yang mutan tidak diketahui (Fromtling et al., 1982; Jacobson et al, 1982.). Penelitian ini menunjukkan bahwa epitope dikenali oleh mAb 13F1 dihasilkan oleh mutan, meskipun pelabelan kurang kuat dari galur induk isogeniknya. Catatan mutan ini mungkin ada di bagian tertentu, kemampuannya untuk ekspor komponen polisakarida ini melalui dinding sel, meskipun label kecil itu ditemukan dalam jaringan yang berdekatan, namun kenyataannya ini  tidak terjadi. Namun, dikenali oleh epitope mAbs 2H1 dan 12A1, yang mirip, jika tidak identik,  tidak ditemukan di Cap 67, menunjukkan bahwa sintesis dari bentuk epitope untuk mAbs ini rusak pada komponen GXM. Hasil ini menimbulkan kemungkinan bahwa epitop dikenali oleh Abs 13F1 12A1 dan berada di berbagai molekul GXM, suatu penemuan yang akan berarti bahwa lebih dari satu jenis molekul GXM dihasilkan oleh beberapa strain C. neoformans.

KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi C. neoformans pada murin adalah proses yang sangat dinamis dimana karakteristik morfologi sel-sel yeast berbeda  fungsi dari umur infeksi. Perbedaan signifikan antara sel yeast yang diteliti secara in vitro dan pertumbuhan populasi sel yeast  yang muncul dalam jaringan selama infeksi kronis. Meskipun telah diakui selama beberapa dekade bahwa infeksi telah menghasilkan perubahan morfologi oleh peningkatan ukuran sel kapsul dan ketebalan dinding sel, namun terjadinya perubahan lain dalam karakteristik selular tidak diakui secara luas.